Kamis, 18 April 2013
Akhir Kisah itu..
Ketika benar
sungguh ia mengetahui tentang takdir yang telah ia alami dan ia rajutkan mimpi ia didalamnya. Memang
perih ketika peluh itu menetes tepat di libakan lukanya, serasa hancur raga selena
selendang yang selalu terkalung di lehernya. Panggil saja ia Mirata.
Mungkin hanya dera
caci apabila orang mengetahui apa yang ia rasakan, penyakit yang tak usang
semakin menggerogoti hatinya. Tiada ragu dan gundah menyapa senyumannya di
ujung mentari yang menyingkap tabir dibalik lukanya.
Detik pun telah meruncing, kini lembaran
tua usang itu telah melapuk, doa yang selalu terlantun di kidung sujudnya tak segera
menjawab atas sisa umurnya.
Wajah senyum belianya selalu menutupi duka
luka yang sesungguhnya tertancap di pelupuk khayalannya. Kini ia tepat berumur lima belas tahun, bukan
usia matang yang pantas menerima cobaan seberat itu.
Telah banyak impian dan khayalan yang ia
haturkan kepada sang muqsit, namun apa daya tangan tak mampu menyelibakkan sayap
untuk terbang menikam harapan pudar itu.
Pagi itu ada sebuah kisah tentang durjana
dan algojo yang menanti
di langkahnya tepat di depan pintu gerbangnya. Dddrrrrrrreeeekkk, ia pun
membuka pintu dengan perlahan, tak
ingin ia bangunkan mama papa yang masih terlelap dalam buah tidur mereka.
Dengan langkah tertatih ia tapakkan perlahan kakinya menuju pemakaman nenek
tersayang. Ia hanya ingin berbagi rajutan kisah bersama neneknya yang telah terdiam dalam liang
lahat.
“ Nek, kini cucu kecilmu ini sudah merekah menjadi dewasa, Mirata rindu
dekap hangat nenek yang lalu tak
pernah absen mengalungkan rajutan syal indah untukku. Kini Mirata ingin
mencumbu kisah lama itu dengan nenek. Tapi mirata tahu, kupu kelam itu tak mampu lagi menggelayuti
kisah lama kita. Nek, air Mata itu enggan menetes ketika Mirata nyenyak dalam
dekap hangat nenek ,“ begitulah yang ia katakan kepada neneknya yang telah
tiada. Mirata, ya benar Mirata, ia menyesali ketika ia belum sempat mengabulkan
harapan neneknya yang ingin melihatnya berhasil menjadi istri yang khasanah bagi sang suami tercinta.
Beberibu detik lamanya ia menelaah kisah di pemakaman sang nenek, hujan
mendera. Buliran-buliran air hujan mulai menyelimuti tubuhnya.
Benar kini waktunya sang mentari tenggelam,
dan esok menggantikan buratan badai dan mendung menjadi milyaran pelangi dengan
beribu macam warna kisah hidupnya.
Setibanya ia di rumah, kembali ia tertidur,
dan tak sangka tak duga, itulah waktu terakhir ia melihat mentari.
Sunyum terkhirnya menutup kisah dalam
kematian hangatnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar